Rabu, 09 Februari 2011

Mendidik anak sejak dini

Orangtua mana yang tidak menginginkan buah hatinya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Siapa pun dia, sebagai orangtua pasti menharapkan hal tersebut. Seorang penjahat sekalipun, tentu tidak akan bercita cita anaknya menjadi seorang penjahat.

Anak merupakan asset masa depan yang besar nilainya, Sebagai sarana Supplay pahala bagi orangtuanya. Dan itu akan terwujud, apa bila orangtua sukses menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang shaleh dan shalehah, yang senantiasa mentaati Allah dan Rosul-Nya. Rosulullah bersabda, “Ketika anak adam meninggal, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh, yang senantiasa mendoakan orangtuanya,” (Al-Hadits).

Peran orangtua dalam mendidik anaknya semasa dini sangat berperan penting bagi pertumbuhan karakter anak. Orangtua adalah guru pertama bagi anak anaknya., sebelum mereka menempuh bangku sekolah. Oleh karena itu, pada masa ini sangat penting mengarahkan mereka menjadi sosok yang berkepribadian muslim sejati.

Dengan maraknya gaya hidup yang konsumtif lagi hidonis, banyak orangtua yang salah kaprah di dalam mendidik anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka memperlakukan anak-anak mereka bak raja yang selalu dituruti kemauannya, tanpa mempertimbangkan tanpa mempertimbangkan nilai positif dan negatif.

Banyak pula antara mereka yang disibukkan dengan urusan bisnis, dengan dalih untuk masa depan anak-anak. Baby sitter dijadikan wakil mereka di rumah dan diberi kepercayaan penuh dalam membangun karakter anak. Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila kemudian hari para orangtua memetik buah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena pola pendidikan yang mereka (orangtua) terapkan tidak sesuai dengan pola pendidikan Baby sitter.

Betapa banyak anak anak disekitar kita yang terjerumus dalam dunia gelap, diskotik, narkotika, dan lain sebagainya, karena mempraktekkan pola pendidikan yang demikian.

Kita Sebagai orangtua, pastilah hatinya akan miris melihat kenyataan demikian. Sebelum hal tersebut terjadi pada keluarga kita, mari kembali kita perhatikan pendidikan anak-anak kita lebih intens, dan tentunya sesuai dengan tuntunan yang telah dicontohkan oleh Rosulullah, sebagai suri tauladan kita dalam segala hal.
Ada beberap tips yang telah dicontohkan oleh Rosulullah dalam membimbing anak-anak beliau, sahabat-sahabat beliau, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang mulia, yang berakhlakul karimah, sekelas Ali bin Abi Thalib, dan putri beliau sendiri, Fathimah:

1. Memberi Teladan

Orang tua harus memberi suri tauladan yang baik bagi anak anaknya, Sebab, bagaimanapun juga, sebagai anak, tentu mereka akan bercermin kepada tingkah laku orangtuanya di dalam bertindak. Jangan sampai, larangan yang kita berikan secara verbal, justru bertolak belakang dengan perbuatan kita. hal ini lah –terkadang- yang menyebabkan turunnya wibawa orangtua di mata anak. “ayah/ibu sendiri kayak gitu”. Bantahan-bantahan seperti ini menunjukkan akan adanya degradasi martabat orangtua di mata anak. Hal ini akan terjadi ketika orangtua tidak mampu memberikan teladan terhadap apa yang ia ucapkan sendiri.

Rosulullah banyak mendidik sahabat-sahabatnya, istri-istri, anak-anaknya, dengan memberi teladan, tanpa harus mengeluarkan kata. Dan itu bisa kita lihat, pada hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan redaksi, raaitu (aku melihat), sami’tu (aku mendengar). Dan salah satu dari hadits tersebut adalah sebagaimana yang ditriwayatkan oleh ‘Adurrahman bin Abi Bakrah, bahwa ia berkata pada ayahnya, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau setiap pagi berdo’a: allahumma ‘aafini fii badanii, allahumma ‘aafinii fii sam’ii, allahumma ‘aafinii fii basharii, walaa ilaaha illan anta (ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah sehatkanlah penglihatanku, ya Allah sehatkanlah badanku. Tiada Tuhan kecuali Engkau). Yang engkau ulang tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari”. Ia (ayahnya) menjawab: “sungguh aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wasallama, berdo’a dengan kata-kata ini. oleh karena itu, aku senang mengikuti sunnah-sunnahnya. (H.R. Abu Daud)

2. Bercerita

Sungguh sepertiga dari isi Al-Quran itu adalah berisi tentang kisah-kisah nyata orang terdahulu. Dan tidak lain tujuannya, agar supaya umat manusia mengambil pelajaran dari mereka, baik dari golongan yang mulia, ataupun dari mereka yang dimurkai. Simaklah firman Allah, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi mereka yang memiliki akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat. Akan tetapi, membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya yang menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Yunus: 111).

Selain memberi tauladan, menceritakan kisah-kisah orang shaleh, sukses, dermawan, dll, merupakan seni mendidik yang sangat baik bagi pertumbuhan karakter mulia pada diri anak-anak. Nasehat yang kita berikan dengan pola demikian, akan lebih mudah bagi mereka untuk mencernanya. Cara mendidik model ini, pun telah dipraktekkan oleh Rosulullah dalam membina ummatnya. Sebab itu, orangtua dituntut untuk memiliki segudang kisah-kisah dan mampu mengemasnya dengan baik. Hadits yang menjelaskan tentang dimasukkannya seorang pelacur ke dalam surga karena menyelamatkan seekor anjing yang kehausan adalah di antara buktinya.

3. Menyertai Bermain

Di tengah kehidupan yang menjadikan harta sebagai setandar kebahagiaan seperti saat ini, tak jarang orangtua lebih memilih untuk meningggalkan anaknya, demi meniti karer, atau bisnisnya. Apapun alasan yang mendasari keputusan mereka tersebut, tentu tidak serta merta dibenarkan. Anak memiliki hak untuk ditemani berjengkrama. Jangan sampai, karena alasan bisnis, orangtuanya membiarkan anaknya tergilas moralnya, karekternya oleh lingkungan sekitar, baik itu teman mainnya, ataupun tontonan yang ia lihat dari layar kaca.

Kasus video yang memperlihatkan seorang bocah asal Malang yang berinisial S.A.S, yang tengah menyeruput kopi dan rokok, serta ‘disempurnakan’ dengan omelan-omelan cabulnya beberapa waktu lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran, betapa turut-sertanya orangtua dalam setiap kegiatan mereka, sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian yang shaleh/shalehah.

Perhatikan penuturan Abu Sufyan berikut ini mengenai urgensi orangtua dalam menyertai anaknya bermain. Dari Abi Sufyan, ia berkata: Saya datang ke rumah mu’awiyah ketika ia bersandar, sedangkan punggung dan dadanya digelayuti seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Saya berkata: “singkirkanlah anak ini dari dirimu, wahai amirul mukminin!” ia menjawab: “saya mendengar Rosulullah pernah bersabda: ‘barang siapa yang memiliki anak kecil, hendaklah ikut bermain-main dengannya.” (H.R. Ibnu Asakir).

4. Menciptakan Kondisi Untuk Berbuat Baik

Ada pepatah yang mengatakan, “belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu.”. secara tersirat, pribahasa ini memeberi tahu kita, bahwa mengarahkan anak yang masih berusia dini untuk menjadi sosok yang berakhlakul karimah, itu relatif lebih mudah, ketimbang mereka yang sudah ‘kadar luarsa’. Sebab itu, orangtua harus mampu menciptakan kondisi agar anak tertarik untuk berbuat baik.

Sebagai contoh, ketika orangtua tekun beribadah, berakhlakul karimah, membantu yang lemah, maka secara tidak langsung, mereka telah menciptakan suatu kondisi yang positif untuk anak-anak mereka, agar melaksanakan apa-apa yang mereka (orangtua) kerjakan. Hal inilah yang dituntunkan oleh Rosulullah kepada para sahabatnya. Sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah saw bersabda, “bantulah anak-anakmu untuk dapat berbakti (kepada orangtuanya) bagi siapa yang ingin anak-anaknya tidak durhaka ke pada mereka (orangtua) (HR. Thabrani).
Memilihkan kondisi dan lingkungan untuk berbuat baik adalah tugas orang tua. Orang tualah yang dapat memilihkan tempat yang tepat buat buah hatinya. Tempat yag membiasakan berdoa, membiasakan berbuat baik, tentunya sekolah yang mempunyai visi dan misi ketauhidan kepada san Rob Semesta alam.
Semoga bermanfaat…
Daftar pustaka
- Fiqhislam

Tidak ada komentar: